Kamis, 22 April 2010

HARGA KEBENARAN

Seperti biasanya, Nasrudin memberikan pengajaran di mimbar. "Kebenaran," ujarnya "adalah sesuatu yang berharga. Bukan hanya secara spiritual, tetapi juga memiliki harga material."


Seorang murid bertanya, "Tapi mengapa kita harus membayar untuk sebuah kebenaran ? Kadang-kadang mahal pula ?"


"Kalau engkau perhatikan," sahut Nasrudin, "Harga sesuatu itu dipengaruhi juga oleh kelangkaannya. Makin langka sesuatu itu, makin mahallah ia."

CARA MEMBACA BUKU

Seorang yang filosof dogmatis sedang meyampaikan ceramah. Nasrudin mengamati bahwa jalan pikiran sang filosof terkotak-kotak, dan sering menggunakan aspek intelektual yang tidak realistis. Setiap masalah didiskusikan dengan menyitir buku-buku dan kisah-kisah klasik, dianalogikan dengan cara yang tidak semestinya.
 
Akhirnya, sang penceramah mengacungkan buku hasil karyanya sendiri. Nasrudin segera mengacungkan tangan untuk menerimanya pertama kali. Sambil memegangnya dengan serius, Nasrudin membuka halaman demi halaman, berdiam diri. Lama sekali. Sang penceramah mulai kesal.
 
"Engkau bahkan membaca bukuku terbalik!"
 
"Aku tahu," jawab Nasrudin acuh, "Tapi karena cuma ini satu-satunya hasil karyamu, rasanya, ya, memang begini caranya mempelajari jalan pikiranmu."

BERSEMBUNYI

Suatu malam seorang pencuri memasuki rumah Nasrudin. Kabetulan Nasrudin sedang melihatnya. Karena ia sedang sendirian aja, Nasrudin cepat-cepat bersembunyi di dalam peti. Sementara itu pencuri memulai aksi menggerayangi rumah. Sekian lama kemudian, pencuri belum menemukan sesuatu yang berharga. Akhirnya ia membuka peti besar, dan memergoki Nasrudin yang bersembunyi.
 
"Aha!" kata si pencuri, "Apa yang sedang kau lakukan di sini, ha?"
 
"Aku malu, karena aku tidak memiliki apa-apa yang bisa kau ambil. Itulah sebabnya aku bersembunyi di sini."

KICAU

Zahra, gadis 9 tahun, tuna rungu sejak lahir, tinggal disebuah rumah kecil yang sederhana dipinggiran kota berdua bersama dengan ayahnya yang bekerja sebagai perawat burung, satu – satunya keahlian yang dimiliki ayahnya.
Zahratuljannah, nama lengkapnya, sebuah nama yang sangat indah, kehadirannya didunia ini bak sekuntum bunga dari surga yang semerbak harumnya tak tertandingi seribu macam bunga duniawi, hadirnya adalah sebuah anugerah terindah bagi kedua orang tuanya.
Beribu do’a iringi hadirnya didunia agar dia menjadi sosok yang cantik nan elok, tinggi budi pekertinya, sopan dan santun tingkah lakunya sehingga mampu mengharumkan nama kedua orang tuanya.
Beralih ke ayah Zahra yang menjadi seorang perawat burung berkicau, sebuah pekerjaan yang dianggap sepele oleh sebagian orang, namun sebenarnya tak mudah, terbukti hanya segelintir orang saja yang mampu menjalaninya.
Telaten, ulet, sabar dan jeli adalah hal yang wajib dimiliki oleh perawat burung, dan ayah Zahra memiliki hal tersebut, tak heran jika kini berpuluh ekor burung dari berbagai jenis dipercayakan padanya. Mata yang jeli menilai perilaku dan telinga yang peka dalam menangkap suara adalah kelebihan dari ayah Zahra, sehingga tak perlu waktu lama baginya untuk mengetahui kondisi dari seekor burung, dia bisa memastikan bahwa seekor burung bakal menjadi calon juara atau tidak sejak masih piyik ( Anak burung).
Pengalaman, kegemaran dan kecintaanlah yang menjadikannya begitu tersohor dikalangan pemilik burung sebagai perawat burung kelas wahid.
Bagi Zahra, hal itu sulit untuk ia pahami, walau sejak lahir berpuluh sangkar telah menghiasi rumah dan pekarangannya, Zahra hanya tahu kalau ayahnya sangat senang merawat burung – burung tersebut, dia pun sangat menyukai burung – burung itu seperti halnya ayahnya, tapi Zahra menyukai burung – burung itu bukan karena merdu suaranya karena jelas Zahra tak bisa mendengarnya, dia menyukai burung – burung itu karena baginya mereka lucu dan indah.
Zahra tak tahu nama burung – burung itu karena ayahnya susah menerjemahkan nama – nama seperti kenari, cucak rowo, , murai dan beragam jenis nama burung – burung itu dalam bahasa isyarat, satu – satunya bahasa yang dimengerti oleh Zahra, dia pun tak ambil pusing akan hal itu, asalkan tiap hari bisa melihat tingkah polah mereka yang ceria sudah cukup membuatnya sangat bahagia.
“Zahra, ambilkan ulat…,” perintah ayahnya dalah bahasa isyarat seadanya namun sudah sangat dimengerti oleh Zahra, beberapa menit kemudian Zahra sudah menghampiri ayahnya dengan membawa sebuah ember yang penuh dengan ulat berwarna coklat yang menjadi makanan kesukaan burung – burung itu.
“Kamu suka ?”, tanya ayahnya dalam bahasa isyarat, Zahra hanya mengangguk mantap sedetik kemudian pandangannya kembali menatap tingkah polah burung – burung itu.
“Sebentar lagi ayah akan membuatmu bisa mendengar kicau mereka “, ucap laki – laki kurus itu lirih sambil membelai rambut Zahra dengan lembutnya, Zahra hanya menoleh sebentar memandang wajah ayahnya yang terlihat sayu, sebuah senyum dilontarkannya dan kemudian kembali bola matanya sibuk mengamati burung – burung itu.
Dipandanginya putri satu – satunya itu dalam – dalam, jelas terlihat guratan kesedihan yang cukup mendalam dalam sorotan matanya itu saat memori 9 tahun silam kembali terlintas.
Peristiwa 9 tahun lalu saat Lastri, ibu Zahra berjuang segenap jiwa mempertaruhkan nyawa melahirkannya kedunia, sebuah usaha yang tak sia – sia, Zahra lahir dengan selamat walau harus di tebus dengan nyawa satu – satunya.
Sebagai seorang laki – laki yang telah ditempa oleh kerasnya kehidupan semenjak kecil hal tersebut sempat membuatnya goyah dan runtuh segala semangat hidupnya yang baru saja berkobar saat terdengar tangis nyaring sang buah hati.
Hanya sang buah hatilah yang membuatnya kembali bangkit, buah cintanya dengan sang istri tercintanya itulah yang membuatnya harus segera menyudahi kedukaan yang tak akan kembalikan cintanya yang telah pergi selama – lamanya.
“Kamu memang tak pernah merasakan kasih sayang dari ibumu, bahkan wajahnyapun tak kau ketahui, tapi jangan kawatir ayahmu ini yang akan menggantikan semua cinta dan kasih sayang yang seharusnya kau raih seperti anak – anak lainnya, ini sumpah ayah padamu nak….”. Ucap Hari pada Zahra kecil diatas pusara istri tercinta.
Zahra tumbuh dengan penuh kebahagiaan, walau harus hidup dengan sederhana dan tak dapat ia rasakan riuh ramainya dunia, dengan adanya ayah yang sangat mencintainya, para kerabat dan tetangga yang sangat peduli padanya berikan hidup yang sempurna yang takkan dapat dinilai dengan secuil materi yang tak berperasaan.
Puluhan burung berwarna warni dan beragam jenisnya menjadi daya tarik tersendiri bagi dirinya, sehingga tak heran jika dia bisa berlama – lama mengamati tingkah polah mereka, sesekali terdengar tawa jenakanya karena polah lucu burung – burung itu yang membuat dirinya merasa sayang untuk berpaling walau hanya sebentar.
“Zah, mandi ….”, seorang wanita separuh baya menepuk pundaknya buyarkan kesenangannya, segera saja digelengkan kepala sebagai jawaban atas ajakan tersebut.
“Zahra, ayo mandi, bau….. ?”, bujuk bu Surya, wanita itu dan tinggal bersebelahan dengannya.
Zahra hanya menganggukkan kepala sebentar, kemudian kembali bola matanya tertuju pada burung – burung itu.
“Zah, mandi sana, biar tidak bau, kalau bau nanti burungnya tidak mau bermain dengan kamu lagi ..”, bujuk ayahnya dengan bahasa isyarat seadanya.
Sejenak Zahra terdiam agak dongkol merasa keasikannya terganggu, namun kemudian dia bangkit dan mengikuti bu Surya untuk mandi.
Dipandanginya gadis kecilnya yang berlari – lari kecil itu dengan gemasnya, sungguh anugerah yang tak dapat dibandingkan dengan apapun didunia ini, batinnya saat melihat kelucuan dan keceriaan gadis kecilnya itu yang selalu terbitkan suasana gembira dan lupakan segala kedukaan yang mendera.
Mentari sudah hangatkan pagi saat langkah –langkah kecil berlari menyusuri lorong sempit ditengah pemukiman padat, tangannya dikepak – kepakkan seakan menirukan seekor burung yang sedang terbang bebas diangkasa.
“Zah, hati – hati ….!!!”, teriak bu Surya khawatir, tentu saja itu tak didengar oleh gadis kecil itu, dia terus berlari kecil tenggelam dalam fantasi kanak – kanaknya meninggalkan bu Surya yang tergopoh – gopoh mengejarnya dibelakang.
Saat langkahnya terhenti, sepasang bola mata beningnya yang berbinar langsung menatap kearah rentetan sangkar burung yang tergantung didepannya, celoteh dan polah burung – burung yang bermandikan sinar mentari yang masih hangat itu kembali hanyutkan dia dalam keasikan tersendiri.
“Zahra, pakai baju dulu”, tepukan halus dipundaknya buyarkan keasikan yang baru saja dia raih.
Kembali isyarat untuk berpakaian disampaikan ayahnya, gadis kecil itupun menganggukkan kepala lemas kemudian berlari kecil masuk kedalam rumah sembari memegangi handuk yang melilit di badannya itu.
“Har…, nih bajunya Zahra, sudah aku cucikan sekalian…”, bu Surya menyodorkan baju, sembari menghela nafas setelah berlari tergopoh – gopoh mengejar Zahra.
“Wah… makin buat repot ibu saja “
“Sudah, tidak usah sungkan, Zahra dan kamu sudah ibu anggap anak dan cucu sendiri “.
“Terima kasih banyak bu…”
“Sudah – sudah, tidak usah dilebih – lebihkan, begitu saja sampai bilang terima kasih, jangan seperti orang lain saja kamu itu, aku masuk dulu, jika kamu dan Zahra belum sarapan datang saja kerumah, aku tadi masak agak banyak “
“Sekali lagi terima kasih banyak bu…”.
Wanita paruh baya itu berlalu seakan tak peduli dengan ucapan terima kasihnya, Hari pun semakin bingung dan salah tingkah menghadapi tetangga yang sekaligus induk semangnya itu.
Tidak sekali dua kali bu Surya membantu Hari merawat Zahra, semenjak Zahra bayi bu Suryalah yang terus membantu Hari yang tinggal seorang diri tanpa sanak saudara. Bagi bu Surya Hari dan Zahra sudah seperti keluarga sendiri, sebuah keluarga yang selalu ia rindukan.
Walau hidup tanpa dikaruniai anak, bu Surya masih cukup bahagia karena suaminya adalah lelaki yang cukup bijak dan arif dalam menghadapi segala kendala kehidupan sehingga ada atau tidaknya seorang buah hati diantara mereka selalu di sikapi dengan positif dan selalu optimis, namun semua itu seakan buyar ketika sang suami meninggal dunia karena kecelakaan.
Hadirnya Hari dan istrinya yang sedang hamil muda untuk mencari kontrakan seakan hapuskan kesunyian hatinya semenjak suaminya tiada, sejak saat itulah pasangan muda itu langsung ia anggap sebagai anak sendiri dan lembaran baru kehidupan pun ia mulai dengan penuh kebahagiaan bersama dengan “keluarga” barunya.
Entah siapa yang beruntung, Hari sekeluarga karena bertemu dengan bu Surya yang sangat baik hati ataukan bu Surya yang bertemu dengan Hari sekeluarga sehingga dapat mengobati kerinduannya akan hadirnya sebuah keluarga yang lengkap.
Waktu berlalu begitu cepat, hari ini di pusat kota akan diselenggarakan perlombaan burung berkicau tingkat nasional dengan hadiah utama Trofi kehormatan dari Presiden, para pecinta burung berkicau pun semenjak pagi sudah mulai berdatangan membawa burung kesayangan mereka masing – masing, sungguh meriah acara tersebut, tak hanya para peserta lomba yang begitu banyak dengan burung jawaranya masing – masing, tapi juga penonton yang datang dari segala penjuru yang ingin menyaksikan perhelatan besar tersebut.
Sesosok laki – laki kurus tampak menurunkan sangkar burung dari atas pick-up, sementara itu temannya membantu menurunkan sangkar lainnya yang semuanya ditutupi dengan kain dengan warna dan corak yang sama, disatu sisinya terdapat inisial HR.
Burung – burung tersebut kepunyaan Haji Ridwan, juragan kelapa asal Madura yang sudah belasan tahun bergeliat dengan mahluk indah bersuara merdu itu, tubuhnya yang tambun, sabuk besar dan pipa rokok yang tak pernah lepas dari tangannya menjadi ciri khasnya yang sudah dipahami betul oleh para pecinta burung lainnya.
Tak dapat dipungkiri kalau Haji Ridwan adalah salah satu orang dengan koleksi burung berkicau kelas wahid yang selalu menang dalam tiap kompetisi, tak heran kehadirannya dalam tiap ajang serupa selalu dianggap sebagai rival berat yang sulit dicari tandingannya.
“Har…, sudah semua..?”.Tanyanya dengan logat madura yang kental.
“Beres pak Haji “. Jawab Hari sembari tetap sibuk memperhatikan Inul, murai batu didikannya yang sudah menang lomba tiga kali dan kali ini sekali lagi ia akan buktikan pada juragannya bahwa tangan dinginnya masih sangat ampuh dalam mencetak juara – juara baru.
Kemeriahan semakin terasa saat mentari mulai beranjak naik, berpuluh – puluh sangkar sudah tergantung diatas tiang yang berjajar rapi memenuhi lapangan yang semakin padat dipenuhi pengunjung.
Sore harinya, saat sangkar – sangkar sudah diturunkan, trofi dan beragam hadiah sudah dibagikan, saat itulah lapangan yang sempat hingar – bingar kini mulai sepi, beragam ekspresi gembira dari para pemenang dan ungkapan kekesalan dari mereka yang kalah mengiringi sang mentari yang perlahan mulai beranjak keperaduan.
Zahra gelisah, tak biasanya ayahnya belum pulang sore itu, sudah beberapa kali ia hilir mudik masuk keluar rumah untuk melihat apakah ayahnya sudah pulah atau belum.
“Zah, ayo masuk, mungkin ayahmu sedang sibuk jadi agak terlambat pulang..” ajak bu Surya yang ditanggapi ogah – ogahan oleh Zahra.
Malam semakin larut, Zahra pun semakin gelisah menunggu ayahnya yang tak kunjung datang, sekuat mungkin dia tahan kantuk yang mendera seakan ia tak mau lewatkan sedikit waktupun untuk melihat ayahnya datang menenteng oleh - oleh dengan wajah gembira.
Hampir tengah malam ketika sosok lelaki kurus itu berjalan perlahan lewati lorong sempit yang tak berpenerang, peluh keringat membasahi kaos kumal yang dikenakannya.
“Kok malam Har…..?” sapa bu Surya saat Hari hendak membuka pintu.
“Panjang bu ceritanya…” jawab Hari lesu.
“Ya sudah, kamu kerumah saja dulu, Zahra sampai ketiduran menunggu kamu “
“Sudah lama bu tidurnya…..?”. tanya Hari sembari membetulkan letak selimut Zahra yang sedang tidur di ruang tamu bu Surya.
“Sudah lama sih,…tadi sih tidak mau tidur sebelum kamu datang, mungkin karena kelelahan tertidur dia”.
“Kasihan….., kalau saja Inul menang………”
“Burung yang tadi pagi kamu bawa…?”, potong bu Surya.
“Ya bu,… Inul kalah telak, jangankan juara satu, juara harapan pun tak dapat, pak Haji marah besar, maklum juragan satu itu gengsinya tinggi sekali, begitu tahu burungnya kalah beliau langsung murka, Inul tak boleh aku rawat lagi dan diserahkan ke orang lain, bahkan akupun tak diantar pulang”.
“jalan kaki …?”
“setengah jalan kaki, setengah naik angkot….,”.
“kok bisa…?”.
“uangku habis”
“kamu tidak diberi uang ..?”.
“Diberi untuk ganti biaya perawatan sebulan ini, tapi kalau bonus tidak sepeserpun, uang itupun sekarang sudah habis…..”.
“Di rampok…?”. Potong bu Surya panik.
“Tidak bu…., aku tadi mampir ke klinik untuk beli ini, sisanya hanya cukup untuk naik angkot sekali, jadinya terpaksa jalan untuk sampai ke sini”. Hari menunjukkan bungkusan kecil yang dihias manis dengan pita.
“Untuk Zahra…?”.
“Iya…hadiah ulang tahun”.
pagi hari hadir begitu cepatnya tinggalkan pekat dan dinginnya malam, sinar mentari yang masih remaja iringi berbagai mahluk untuk kembali beraktifitas kembali setelah semalaman berdiam diri melindungi diri dari dinginnya malam yang menusuk tulang.
Suara gelak tawa gadis kecil terdengar begitu jenaka dan menggemaskan, kaki kecilnya yang seakan tak mau diam terlihat seperti menari – nari karena gembira.
“suaranya merdukan…?” tanya Hari.
Gadis kecil itu hanya mengagukkan kepala, sesekali disentuhnya alat yang menempel ditelinganya dan sekali lagi gelak tawa jenakanya terdengar ceriakan pagi yang indah.

SELESAI

BELAJAR KEBIJAKSANAAN

Seorang darwis ingin belajar tentang kebijaksanaan hidup dari Nasrudin. Nasrudin bersedia, dengan catatan bahwa kebijaksanaan hanya bisa dipelajari dengan praktek. Darwis itu pun bersedia menemani Nasrudin dan melihat perilakunya.
 
Malam itu Nasrudin menggosok kayu membuat api. Api kecil itu ditiup-tiupnya. "Mengapa api itu kau tiup?" tanya sang darwis. "Agar lebih panas dan lebih besar apinya," jawab Nasrudin.
 
Setelah api besar, Nasrudin memasak sop. Sop menjadi panas. Nasrudin menuangkannya ke dalam dua mangkok. Ia mengambil mangkoknya, kemudian meniup-niup sopnya.
 
"Mengapa sop itu kau tiup?" tanya sang darwis. "Agar lebih dingin dan enak dimakan," jawab Nasrudin.
 
"Ah, aku rasa aku tidak jadi belajar darimu," ketus si darwis, "Engkau tidak bisa konsisten dengan pengetahuanmu."
 
Ah, konsistensi.

BAHASA KURDI

Tetangga Nasrudin ingin belajar bahasa Kurdi. Maka ia minta diajari Nasrudin. Sebetulnya Nasrudin juga belum bisa bahasa Kurdi selain beberapa patah kata. Tapi karena tetangganya memaksa, ia pun akhirnya bersedia.
 
"Kita mulai dengan sop panas. Dalam bahasa Kurdi, itu namanya Aash."
 
"Bagaimana dengan sop dingin ?"
 
"Hemm. Perlu diketahui bahwa orang Kurdi tidak pernah membiarkan sop jadi dingin. Jadi engkau tidak akan pernah mengatakan sop dingin dalam bahasa Kurdi."

BAHASA BURUNG

Dalam pengembaraannya, Nasrudin singgah di ibukota. Di sana langsung timbul kabar burung bahwa Nasrudin telah menguasai bahasa burung-burung. Raja sendiri akhirnya mendengar kabar itu. Maka dipanggillah Nasrudin ke istana.
 
Saat itu kebetulan ada seekor burung hantu yang sering berteriak di dekat istana. Bertanyalah raja pada Nasrudin, "Coba katakan, apa yang diucapkan burung hantu itu!"
 
"Ia mengatakan," kata Nasrudin, "Jika raja tidak berhenti menyengsarakan rakyat, maka kerajaannya akan segera runtuh seperti sarangnya."

API

Hari Jum'at itu, Nasrudin menjadi imam Shalat Jum'at. Namun belum lama ia berkhutbah, dilihatnya para jamaah terkantuk-kantuk, dan bahkan sebagian tertidur dengan lelap. Maka berteriaklah Sang Mullah,
 
"Api ! Api ! Api !"
 
Segera saja, seisi masjid terbangun, membelalak dengan pandangan kaget, menoleh kiri-kanan. Sebagian ada yang langsung bertanya,
 
"Dimana apinya, Mullah ?"
 
Nasrudin meneruskan khutbahnya, seolah tak acuh pada yang bertanya,
 
"Api yang dahsyat di neraka, bagi mereka yang lalai dalam beribadah."

Senin, 19 April 2010

PELARIAN

I
Tak tertahan lagi
Remang miang sengketa disini

Dalam lari
Dehempaskannya pintu tak berhingga

Hancur luluh sepi seketika
Dan paduan dua jiwa
II
Dari kelam kemalam
Tertawa meringis malam menerimanya
Ini batu baru tercampung dalam gelita
Mau apa ? Rayu dan pelupa
Aku ada ! pilih saja!
Bujuk dibeli ?
Atau sungai sunyi ?
Mari ! Mari !
Turut saja !

Tak kuasa - terengkam
Ia dicekam malam
Februari 1943

SIA-SIA

Penghabisan kali itu kau datang
Membawa kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan : untukku

Lalu kita sama termangu
Saling bertanya : apakah ini?
Cinta? kita berdua tidak mengerti

Sehari kita bersama, tak hampir menghampiri

Ah! hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak sepi

Februari 1943

Jumat, 09 April 2010

TAK SEPADAN

Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan bahagia
Sedang aku mengembara serupa ahaveros

Dikutuk sumpahi Eros
Aku merangkaki diding buta
Tak satu juga pintu terbuka

Jadi baik juga kita padami
Unggulan api ini
Karena kau tidakkan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka
February 1943

DIPONEGORO

Dimana pembangunan ini
tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Didepan sekali tuan menanti
Tak gentar, Lawan banyaknya seratus kali
Pedang dikanan, Keris dikiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu

Sekali berarti
Sudah itu mati

MAJU

Bagimu negeri
Menyediakan api

Punah diatas menghamba
Binasa diatas ditinda

Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang
February 1943

PELAYAN RAJA

Nasrudin menjadi orang penting di istana, dan bersibuk mengatur urusan di dalam istana. Suatu hari raja merasa lapar. Beberapa koki menyajikan hidangan yang enak sekali.
 
"Tidakkah ini sayuran terbaik di dunia, Mullah ?" tanya raja kepada Nasrudin.
"Teramat baik, Tuanku."
 
Maka raja meminta dimasakkan sayuran itu setiap saat. Lima hari kemudian, ketika koki untuk yang kesepuluh kali memasak masakan yang sama, raja berteriak:
 
"Singkirkan semuanya! Aku benci makanan ini!"
"Memang sayuran terburuk di dunia, Tuanku." ujar Nasrudin.
"Tapi belum satu minggu yang lalu engkau mengatakan bahwa itu sayuran terbaik."
"Memang benar. Tapi saya pelayan raja, bukan pelayan sayuran."