Rabu, 13 Oktober 2010

DO YOU BELIVED?

Kalau keyakinan kau tiadakan
Hampa dan kosong yang kau dapatkan
bukan perkara banyak atau sedikit
Kepuasan akan hasil dari sesuatu yang diyakini
Lebih dari limpahan materi
Do you belived?

Selasa, 05 Oktober 2010

letter to

Hendaknya kau sadar sobat
Saat asa dan langkahmu tlah temui kebuntuan
Bukan hujat dan caci yang harusnya kau ungkapkan
Ada arti dalam setiap langkahmu
Bukan karena Dia membencimu
Karena hanya rahmat dan rahim yang Dia berikan pada mahluknya
Saat langkah terhalang, karena Dia ingin kamu kuat
Saat keinginan tak terwujud, karena Dia ingin kau belajar arti kesabaran

Tuhan tak selalu beri apa yang kita inginkan
tapi jangan ragukan bahwa Tuhan penuhi apa yang kamu butuhkan
sadarlah sobat

Jumat, 01 Oktober 2010

puppet

Apakah masih kamu pertanyakan
Jika semua yang pantas untukmu telah kau dapatkan
Lalu mengapa kau masih memohon mengiba
Menghujat jika tak terkabul
Takabur jika telah tercapai

Wayang tidak bisa mengendalikan jalan cerita
Sobat, sadarkan kau

Minggu, 05 September 2010

MIMPI

entah nyata atau maya
bukan masalah asli atau palsu
mencari puas dibalik imajinasi
masturbasi keinginan yang muskil tercapai
cerai berai diri
saat tak mampu terima
semalam sejuta wanita kurengkuh
pagi ini terbangun berselimut peluh
sendiri........

Senin, 05 Juli 2010

BELALANG SEMBAH

Belalang sembah terhentak terkejut
Telah kuusik kesenangannya
Lalat buah terlepas dari cengkramannya
Sambih berlalu dia menggerutu

DASAR JOMBLO
KALAU TIDAK PUNYA PACAR
JANGAN SUKA GANGGU AKU !!!!!

MATAHARI INGKAR JANJI

Kurindukan hadirnya fajar
Disini,.....
Kuterjebak dalam malam abadi
menantimu,

Putaran waktu tak lagi berarti
Tua atau muda tiada lagi beda

Berhenti di satu titik
Malam abadi
Tiada berakhir

Pergimu
Tinggalkan kutukan padaku

Malamku tiada akhir
Fajar hanya impian
karena matahari tak sudi lagi kembali

Matahari ingkari janji

NEKAD = SETAN

Darman nekat
Darman gelap mata
Sudah tiga minggu anaknya sakit
Tidak tahu apa sakitnya
Periksa kedokter tak punya uang
Buat makan saja tidak cukup
Tiap pulang istrinya selalu menangis
Anaknya tak henti mengerang kesakitan
Semakin tersiksa batinnya
Darman nekat
Diambilnya tali
Dijerat leher anaknya sampai mati
Biar kau tak lagi menderita batinnya
Warga kampung heboh
Darman babak belur digebuki sampai sekarat
Darman terus teriak, tapi bukan teriak kesakitan
Aku miskin kalian cuek
Anak istriku kelaparan kalian masa bodo
Anakku sakit kalian pura-pura tidak tahu
Aku bunuh anakku biar tidak menderita
Kalian bilang aku setan
Aku memang setan
Kalian batu
Kalian anjing
Hanya tahu makan dan kawin
Tidak peduli dengan orang seperti aku
Anjing !!!!!!!!!!’
Mau bunuh setan
Silahkan!!!!!!!!!!!!!!!!!

LUNAS

Dalam sela lantunan pujiku pada-MU
Kuputuskan tuk berhenti meminta
Lunas semua harapan dan permohonan

KAU sentuh hati ini dengan Rahim-Mu

kurasakan Rahim-Mu
ku terlarut dalam indah Rahim-Mu
terhanyut dalam keindahan tiada tara
keindahan yang tercipta karena Agung-Mu

Duh Gusti......

malam ini ku buang semua daftar permohonanku
segala keluh kesah kusudahi
karena KAU telah sentuh kalbu ini
Dengan Indah Rahim-Mu

Kamis, 22 April 2010

HARGA KEBENARAN

Seperti biasanya, Nasrudin memberikan pengajaran di mimbar. "Kebenaran," ujarnya "adalah sesuatu yang berharga. Bukan hanya secara spiritual, tetapi juga memiliki harga material."


Seorang murid bertanya, "Tapi mengapa kita harus membayar untuk sebuah kebenaran ? Kadang-kadang mahal pula ?"


"Kalau engkau perhatikan," sahut Nasrudin, "Harga sesuatu itu dipengaruhi juga oleh kelangkaannya. Makin langka sesuatu itu, makin mahallah ia."

CARA MEMBACA BUKU

Seorang yang filosof dogmatis sedang meyampaikan ceramah. Nasrudin mengamati bahwa jalan pikiran sang filosof terkotak-kotak, dan sering menggunakan aspek intelektual yang tidak realistis. Setiap masalah didiskusikan dengan menyitir buku-buku dan kisah-kisah klasik, dianalogikan dengan cara yang tidak semestinya.
 
Akhirnya, sang penceramah mengacungkan buku hasil karyanya sendiri. Nasrudin segera mengacungkan tangan untuk menerimanya pertama kali. Sambil memegangnya dengan serius, Nasrudin membuka halaman demi halaman, berdiam diri. Lama sekali. Sang penceramah mulai kesal.
 
"Engkau bahkan membaca bukuku terbalik!"
 
"Aku tahu," jawab Nasrudin acuh, "Tapi karena cuma ini satu-satunya hasil karyamu, rasanya, ya, memang begini caranya mempelajari jalan pikiranmu."

BERSEMBUNYI

Suatu malam seorang pencuri memasuki rumah Nasrudin. Kabetulan Nasrudin sedang melihatnya. Karena ia sedang sendirian aja, Nasrudin cepat-cepat bersembunyi di dalam peti. Sementara itu pencuri memulai aksi menggerayangi rumah. Sekian lama kemudian, pencuri belum menemukan sesuatu yang berharga. Akhirnya ia membuka peti besar, dan memergoki Nasrudin yang bersembunyi.
 
"Aha!" kata si pencuri, "Apa yang sedang kau lakukan di sini, ha?"
 
"Aku malu, karena aku tidak memiliki apa-apa yang bisa kau ambil. Itulah sebabnya aku bersembunyi di sini."

KICAU

Zahra, gadis 9 tahun, tuna rungu sejak lahir, tinggal disebuah rumah kecil yang sederhana dipinggiran kota berdua bersama dengan ayahnya yang bekerja sebagai perawat burung, satu – satunya keahlian yang dimiliki ayahnya.
Zahratuljannah, nama lengkapnya, sebuah nama yang sangat indah, kehadirannya didunia ini bak sekuntum bunga dari surga yang semerbak harumnya tak tertandingi seribu macam bunga duniawi, hadirnya adalah sebuah anugerah terindah bagi kedua orang tuanya.
Beribu do’a iringi hadirnya didunia agar dia menjadi sosok yang cantik nan elok, tinggi budi pekertinya, sopan dan santun tingkah lakunya sehingga mampu mengharumkan nama kedua orang tuanya.
Beralih ke ayah Zahra yang menjadi seorang perawat burung berkicau, sebuah pekerjaan yang dianggap sepele oleh sebagian orang, namun sebenarnya tak mudah, terbukti hanya segelintir orang saja yang mampu menjalaninya.
Telaten, ulet, sabar dan jeli adalah hal yang wajib dimiliki oleh perawat burung, dan ayah Zahra memiliki hal tersebut, tak heran jika kini berpuluh ekor burung dari berbagai jenis dipercayakan padanya. Mata yang jeli menilai perilaku dan telinga yang peka dalam menangkap suara adalah kelebihan dari ayah Zahra, sehingga tak perlu waktu lama baginya untuk mengetahui kondisi dari seekor burung, dia bisa memastikan bahwa seekor burung bakal menjadi calon juara atau tidak sejak masih piyik ( Anak burung).
Pengalaman, kegemaran dan kecintaanlah yang menjadikannya begitu tersohor dikalangan pemilik burung sebagai perawat burung kelas wahid.
Bagi Zahra, hal itu sulit untuk ia pahami, walau sejak lahir berpuluh sangkar telah menghiasi rumah dan pekarangannya, Zahra hanya tahu kalau ayahnya sangat senang merawat burung – burung tersebut, dia pun sangat menyukai burung – burung itu seperti halnya ayahnya, tapi Zahra menyukai burung – burung itu bukan karena merdu suaranya karena jelas Zahra tak bisa mendengarnya, dia menyukai burung – burung itu karena baginya mereka lucu dan indah.
Zahra tak tahu nama burung – burung itu karena ayahnya susah menerjemahkan nama – nama seperti kenari, cucak rowo, , murai dan beragam jenis nama burung – burung itu dalam bahasa isyarat, satu – satunya bahasa yang dimengerti oleh Zahra, dia pun tak ambil pusing akan hal itu, asalkan tiap hari bisa melihat tingkah polah mereka yang ceria sudah cukup membuatnya sangat bahagia.
“Zahra, ambilkan ulat…,” perintah ayahnya dalah bahasa isyarat seadanya namun sudah sangat dimengerti oleh Zahra, beberapa menit kemudian Zahra sudah menghampiri ayahnya dengan membawa sebuah ember yang penuh dengan ulat berwarna coklat yang menjadi makanan kesukaan burung – burung itu.
“Kamu suka ?”, tanya ayahnya dalam bahasa isyarat, Zahra hanya mengangguk mantap sedetik kemudian pandangannya kembali menatap tingkah polah burung – burung itu.
“Sebentar lagi ayah akan membuatmu bisa mendengar kicau mereka “, ucap laki – laki kurus itu lirih sambil membelai rambut Zahra dengan lembutnya, Zahra hanya menoleh sebentar memandang wajah ayahnya yang terlihat sayu, sebuah senyum dilontarkannya dan kemudian kembali bola matanya sibuk mengamati burung – burung itu.
Dipandanginya putri satu – satunya itu dalam – dalam, jelas terlihat guratan kesedihan yang cukup mendalam dalam sorotan matanya itu saat memori 9 tahun silam kembali terlintas.
Peristiwa 9 tahun lalu saat Lastri, ibu Zahra berjuang segenap jiwa mempertaruhkan nyawa melahirkannya kedunia, sebuah usaha yang tak sia – sia, Zahra lahir dengan selamat walau harus di tebus dengan nyawa satu – satunya.
Sebagai seorang laki – laki yang telah ditempa oleh kerasnya kehidupan semenjak kecil hal tersebut sempat membuatnya goyah dan runtuh segala semangat hidupnya yang baru saja berkobar saat terdengar tangis nyaring sang buah hati.
Hanya sang buah hatilah yang membuatnya kembali bangkit, buah cintanya dengan sang istri tercintanya itulah yang membuatnya harus segera menyudahi kedukaan yang tak akan kembalikan cintanya yang telah pergi selama – lamanya.
“Kamu memang tak pernah merasakan kasih sayang dari ibumu, bahkan wajahnyapun tak kau ketahui, tapi jangan kawatir ayahmu ini yang akan menggantikan semua cinta dan kasih sayang yang seharusnya kau raih seperti anak – anak lainnya, ini sumpah ayah padamu nak….”. Ucap Hari pada Zahra kecil diatas pusara istri tercinta.
Zahra tumbuh dengan penuh kebahagiaan, walau harus hidup dengan sederhana dan tak dapat ia rasakan riuh ramainya dunia, dengan adanya ayah yang sangat mencintainya, para kerabat dan tetangga yang sangat peduli padanya berikan hidup yang sempurna yang takkan dapat dinilai dengan secuil materi yang tak berperasaan.
Puluhan burung berwarna warni dan beragam jenisnya menjadi daya tarik tersendiri bagi dirinya, sehingga tak heran jika dia bisa berlama – lama mengamati tingkah polah mereka, sesekali terdengar tawa jenakanya karena polah lucu burung – burung itu yang membuat dirinya merasa sayang untuk berpaling walau hanya sebentar.
“Zah, mandi ….”, seorang wanita separuh baya menepuk pundaknya buyarkan kesenangannya, segera saja digelengkan kepala sebagai jawaban atas ajakan tersebut.
“Zahra, ayo mandi, bau….. ?”, bujuk bu Surya, wanita itu dan tinggal bersebelahan dengannya.
Zahra hanya menganggukkan kepala sebentar, kemudian kembali bola matanya tertuju pada burung – burung itu.
“Zah, mandi sana, biar tidak bau, kalau bau nanti burungnya tidak mau bermain dengan kamu lagi ..”, bujuk ayahnya dengan bahasa isyarat seadanya.
Sejenak Zahra terdiam agak dongkol merasa keasikannya terganggu, namun kemudian dia bangkit dan mengikuti bu Surya untuk mandi.
Dipandanginya gadis kecilnya yang berlari – lari kecil itu dengan gemasnya, sungguh anugerah yang tak dapat dibandingkan dengan apapun didunia ini, batinnya saat melihat kelucuan dan keceriaan gadis kecilnya itu yang selalu terbitkan suasana gembira dan lupakan segala kedukaan yang mendera.
Mentari sudah hangatkan pagi saat langkah –langkah kecil berlari menyusuri lorong sempit ditengah pemukiman padat, tangannya dikepak – kepakkan seakan menirukan seekor burung yang sedang terbang bebas diangkasa.
“Zah, hati – hati ….!!!”, teriak bu Surya khawatir, tentu saja itu tak didengar oleh gadis kecil itu, dia terus berlari kecil tenggelam dalam fantasi kanak – kanaknya meninggalkan bu Surya yang tergopoh – gopoh mengejarnya dibelakang.
Saat langkahnya terhenti, sepasang bola mata beningnya yang berbinar langsung menatap kearah rentetan sangkar burung yang tergantung didepannya, celoteh dan polah burung – burung yang bermandikan sinar mentari yang masih hangat itu kembali hanyutkan dia dalam keasikan tersendiri.
“Zahra, pakai baju dulu”, tepukan halus dipundaknya buyarkan keasikan yang baru saja dia raih.
Kembali isyarat untuk berpakaian disampaikan ayahnya, gadis kecil itupun menganggukkan kepala lemas kemudian berlari kecil masuk kedalam rumah sembari memegangi handuk yang melilit di badannya itu.
“Har…, nih bajunya Zahra, sudah aku cucikan sekalian…”, bu Surya menyodorkan baju, sembari menghela nafas setelah berlari tergopoh – gopoh mengejar Zahra.
“Wah… makin buat repot ibu saja “
“Sudah, tidak usah sungkan, Zahra dan kamu sudah ibu anggap anak dan cucu sendiri “.
“Terima kasih banyak bu…”
“Sudah – sudah, tidak usah dilebih – lebihkan, begitu saja sampai bilang terima kasih, jangan seperti orang lain saja kamu itu, aku masuk dulu, jika kamu dan Zahra belum sarapan datang saja kerumah, aku tadi masak agak banyak “
“Sekali lagi terima kasih banyak bu…”.
Wanita paruh baya itu berlalu seakan tak peduli dengan ucapan terima kasihnya, Hari pun semakin bingung dan salah tingkah menghadapi tetangga yang sekaligus induk semangnya itu.
Tidak sekali dua kali bu Surya membantu Hari merawat Zahra, semenjak Zahra bayi bu Suryalah yang terus membantu Hari yang tinggal seorang diri tanpa sanak saudara. Bagi bu Surya Hari dan Zahra sudah seperti keluarga sendiri, sebuah keluarga yang selalu ia rindukan.
Walau hidup tanpa dikaruniai anak, bu Surya masih cukup bahagia karena suaminya adalah lelaki yang cukup bijak dan arif dalam menghadapi segala kendala kehidupan sehingga ada atau tidaknya seorang buah hati diantara mereka selalu di sikapi dengan positif dan selalu optimis, namun semua itu seakan buyar ketika sang suami meninggal dunia karena kecelakaan.
Hadirnya Hari dan istrinya yang sedang hamil muda untuk mencari kontrakan seakan hapuskan kesunyian hatinya semenjak suaminya tiada, sejak saat itulah pasangan muda itu langsung ia anggap sebagai anak sendiri dan lembaran baru kehidupan pun ia mulai dengan penuh kebahagiaan bersama dengan “keluarga” barunya.
Entah siapa yang beruntung, Hari sekeluarga karena bertemu dengan bu Surya yang sangat baik hati ataukan bu Surya yang bertemu dengan Hari sekeluarga sehingga dapat mengobati kerinduannya akan hadirnya sebuah keluarga yang lengkap.
Waktu berlalu begitu cepat, hari ini di pusat kota akan diselenggarakan perlombaan burung berkicau tingkat nasional dengan hadiah utama Trofi kehormatan dari Presiden, para pecinta burung berkicau pun semenjak pagi sudah mulai berdatangan membawa burung kesayangan mereka masing – masing, sungguh meriah acara tersebut, tak hanya para peserta lomba yang begitu banyak dengan burung jawaranya masing – masing, tapi juga penonton yang datang dari segala penjuru yang ingin menyaksikan perhelatan besar tersebut.
Sesosok laki – laki kurus tampak menurunkan sangkar burung dari atas pick-up, sementara itu temannya membantu menurunkan sangkar lainnya yang semuanya ditutupi dengan kain dengan warna dan corak yang sama, disatu sisinya terdapat inisial HR.
Burung – burung tersebut kepunyaan Haji Ridwan, juragan kelapa asal Madura yang sudah belasan tahun bergeliat dengan mahluk indah bersuara merdu itu, tubuhnya yang tambun, sabuk besar dan pipa rokok yang tak pernah lepas dari tangannya menjadi ciri khasnya yang sudah dipahami betul oleh para pecinta burung lainnya.
Tak dapat dipungkiri kalau Haji Ridwan adalah salah satu orang dengan koleksi burung berkicau kelas wahid yang selalu menang dalam tiap kompetisi, tak heran kehadirannya dalam tiap ajang serupa selalu dianggap sebagai rival berat yang sulit dicari tandingannya.
“Har…, sudah semua..?”.Tanyanya dengan logat madura yang kental.
“Beres pak Haji “. Jawab Hari sembari tetap sibuk memperhatikan Inul, murai batu didikannya yang sudah menang lomba tiga kali dan kali ini sekali lagi ia akan buktikan pada juragannya bahwa tangan dinginnya masih sangat ampuh dalam mencetak juara – juara baru.
Kemeriahan semakin terasa saat mentari mulai beranjak naik, berpuluh – puluh sangkar sudah tergantung diatas tiang yang berjajar rapi memenuhi lapangan yang semakin padat dipenuhi pengunjung.
Sore harinya, saat sangkar – sangkar sudah diturunkan, trofi dan beragam hadiah sudah dibagikan, saat itulah lapangan yang sempat hingar – bingar kini mulai sepi, beragam ekspresi gembira dari para pemenang dan ungkapan kekesalan dari mereka yang kalah mengiringi sang mentari yang perlahan mulai beranjak keperaduan.
Zahra gelisah, tak biasanya ayahnya belum pulang sore itu, sudah beberapa kali ia hilir mudik masuk keluar rumah untuk melihat apakah ayahnya sudah pulah atau belum.
“Zah, ayo masuk, mungkin ayahmu sedang sibuk jadi agak terlambat pulang..” ajak bu Surya yang ditanggapi ogah – ogahan oleh Zahra.
Malam semakin larut, Zahra pun semakin gelisah menunggu ayahnya yang tak kunjung datang, sekuat mungkin dia tahan kantuk yang mendera seakan ia tak mau lewatkan sedikit waktupun untuk melihat ayahnya datang menenteng oleh - oleh dengan wajah gembira.
Hampir tengah malam ketika sosok lelaki kurus itu berjalan perlahan lewati lorong sempit yang tak berpenerang, peluh keringat membasahi kaos kumal yang dikenakannya.
“Kok malam Har…..?” sapa bu Surya saat Hari hendak membuka pintu.
“Panjang bu ceritanya…” jawab Hari lesu.
“Ya sudah, kamu kerumah saja dulu, Zahra sampai ketiduran menunggu kamu “
“Sudah lama bu tidurnya…..?”. tanya Hari sembari membetulkan letak selimut Zahra yang sedang tidur di ruang tamu bu Surya.
“Sudah lama sih,…tadi sih tidak mau tidur sebelum kamu datang, mungkin karena kelelahan tertidur dia”.
“Kasihan….., kalau saja Inul menang………”
“Burung yang tadi pagi kamu bawa…?”, potong bu Surya.
“Ya bu,… Inul kalah telak, jangankan juara satu, juara harapan pun tak dapat, pak Haji marah besar, maklum juragan satu itu gengsinya tinggi sekali, begitu tahu burungnya kalah beliau langsung murka, Inul tak boleh aku rawat lagi dan diserahkan ke orang lain, bahkan akupun tak diantar pulang”.
“jalan kaki …?”
“setengah jalan kaki, setengah naik angkot….,”.
“kok bisa…?”.
“uangku habis”
“kamu tidak diberi uang ..?”.
“Diberi untuk ganti biaya perawatan sebulan ini, tapi kalau bonus tidak sepeserpun, uang itupun sekarang sudah habis…..”.
“Di rampok…?”. Potong bu Surya panik.
“Tidak bu…., aku tadi mampir ke klinik untuk beli ini, sisanya hanya cukup untuk naik angkot sekali, jadinya terpaksa jalan untuk sampai ke sini”. Hari menunjukkan bungkusan kecil yang dihias manis dengan pita.
“Untuk Zahra…?”.
“Iya…hadiah ulang tahun”.
pagi hari hadir begitu cepatnya tinggalkan pekat dan dinginnya malam, sinar mentari yang masih remaja iringi berbagai mahluk untuk kembali beraktifitas kembali setelah semalaman berdiam diri melindungi diri dari dinginnya malam yang menusuk tulang.
Suara gelak tawa gadis kecil terdengar begitu jenaka dan menggemaskan, kaki kecilnya yang seakan tak mau diam terlihat seperti menari – nari karena gembira.
“suaranya merdukan…?” tanya Hari.
Gadis kecil itu hanya mengagukkan kepala, sesekali disentuhnya alat yang menempel ditelinganya dan sekali lagi gelak tawa jenakanya terdengar ceriakan pagi yang indah.

SELESAI

BELAJAR KEBIJAKSANAAN

Seorang darwis ingin belajar tentang kebijaksanaan hidup dari Nasrudin. Nasrudin bersedia, dengan catatan bahwa kebijaksanaan hanya bisa dipelajari dengan praktek. Darwis itu pun bersedia menemani Nasrudin dan melihat perilakunya.
 
Malam itu Nasrudin menggosok kayu membuat api. Api kecil itu ditiup-tiupnya. "Mengapa api itu kau tiup?" tanya sang darwis. "Agar lebih panas dan lebih besar apinya," jawab Nasrudin.
 
Setelah api besar, Nasrudin memasak sop. Sop menjadi panas. Nasrudin menuangkannya ke dalam dua mangkok. Ia mengambil mangkoknya, kemudian meniup-niup sopnya.
 
"Mengapa sop itu kau tiup?" tanya sang darwis. "Agar lebih dingin dan enak dimakan," jawab Nasrudin.
 
"Ah, aku rasa aku tidak jadi belajar darimu," ketus si darwis, "Engkau tidak bisa konsisten dengan pengetahuanmu."
 
Ah, konsistensi.

BAHASA KURDI

Tetangga Nasrudin ingin belajar bahasa Kurdi. Maka ia minta diajari Nasrudin. Sebetulnya Nasrudin juga belum bisa bahasa Kurdi selain beberapa patah kata. Tapi karena tetangganya memaksa, ia pun akhirnya bersedia.
 
"Kita mulai dengan sop panas. Dalam bahasa Kurdi, itu namanya Aash."
 
"Bagaimana dengan sop dingin ?"
 
"Hemm. Perlu diketahui bahwa orang Kurdi tidak pernah membiarkan sop jadi dingin. Jadi engkau tidak akan pernah mengatakan sop dingin dalam bahasa Kurdi."

BAHASA BURUNG

Dalam pengembaraannya, Nasrudin singgah di ibukota. Di sana langsung timbul kabar burung bahwa Nasrudin telah menguasai bahasa burung-burung. Raja sendiri akhirnya mendengar kabar itu. Maka dipanggillah Nasrudin ke istana.
 
Saat itu kebetulan ada seekor burung hantu yang sering berteriak di dekat istana. Bertanyalah raja pada Nasrudin, "Coba katakan, apa yang diucapkan burung hantu itu!"
 
"Ia mengatakan," kata Nasrudin, "Jika raja tidak berhenti menyengsarakan rakyat, maka kerajaannya akan segera runtuh seperti sarangnya."

API

Hari Jum'at itu, Nasrudin menjadi imam Shalat Jum'at. Namun belum lama ia berkhutbah, dilihatnya para jamaah terkantuk-kantuk, dan bahkan sebagian tertidur dengan lelap. Maka berteriaklah Sang Mullah,
 
"Api ! Api ! Api !"
 
Segera saja, seisi masjid terbangun, membelalak dengan pandangan kaget, menoleh kiri-kanan. Sebagian ada yang langsung bertanya,
 
"Dimana apinya, Mullah ?"
 
Nasrudin meneruskan khutbahnya, seolah tak acuh pada yang bertanya,
 
"Api yang dahsyat di neraka, bagi mereka yang lalai dalam beribadah."

Senin, 19 April 2010

PELARIAN

I
Tak tertahan lagi
Remang miang sengketa disini

Dalam lari
Dehempaskannya pintu tak berhingga

Hancur luluh sepi seketika
Dan paduan dua jiwa
II
Dari kelam kemalam
Tertawa meringis malam menerimanya
Ini batu baru tercampung dalam gelita
Mau apa ? Rayu dan pelupa
Aku ada ! pilih saja!
Bujuk dibeli ?
Atau sungai sunyi ?
Mari ! Mari !
Turut saja !

Tak kuasa - terengkam
Ia dicekam malam
Februari 1943

SIA-SIA

Penghabisan kali itu kau datang
Membawa kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan : untukku

Lalu kita sama termangu
Saling bertanya : apakah ini?
Cinta? kita berdua tidak mengerti

Sehari kita bersama, tak hampir menghampiri

Ah! hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak sepi

Februari 1943

Jumat, 09 April 2010

TAK SEPADAN

Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan bahagia
Sedang aku mengembara serupa ahaveros

Dikutuk sumpahi Eros
Aku merangkaki diding buta
Tak satu juga pintu terbuka

Jadi baik juga kita padami
Unggulan api ini
Karena kau tidakkan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka
February 1943

DIPONEGORO

Dimana pembangunan ini
tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Didepan sekali tuan menanti
Tak gentar, Lawan banyaknya seratus kali
Pedang dikanan, Keris dikiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu

Sekali berarti
Sudah itu mati

MAJU

Bagimu negeri
Menyediakan api

Punah diatas menghamba
Binasa diatas ditinda

Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang
February 1943

PELAYAN RAJA

Nasrudin menjadi orang penting di istana, dan bersibuk mengatur urusan di dalam istana. Suatu hari raja merasa lapar. Beberapa koki menyajikan hidangan yang enak sekali.
 
"Tidakkah ini sayuran terbaik di dunia, Mullah ?" tanya raja kepada Nasrudin.
"Teramat baik, Tuanku."
 
Maka raja meminta dimasakkan sayuran itu setiap saat. Lima hari kemudian, ketika koki untuk yang kesepuluh kali memasak masakan yang sama, raja berteriak:
 
"Singkirkan semuanya! Aku benci makanan ini!"
"Memang sayuran terburuk di dunia, Tuanku." ujar Nasrudin.
"Tapi belum satu minggu yang lalu engkau mengatakan bahwa itu sayuran terbaik."
"Memang benar. Tapi saya pelayan raja, bukan pelayan sayuran."

Jumat, 26 Maret 2010

PENGHIDUPAN

Lautan maha dalam
Mukul dentur selama
Nguji tenaga pematang kita

Mukul dentur selama
Hingga hancur remuk redam
Kurnia bahagia
Kecil setumpuk
Sia-sia dilindungi, sia-sia dipupuk
Desember 1942

NISAN

untuk nenekanda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta
Oktober 1942

Minggu, 21 Maret 2010

TEORI KEBUTUHAN

Nasrudin berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim kota, seperti umumnya cendekiawan masa itu, sering berpikir hanya dari satu sisi saja. Hakim memulai,


"Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, ..."


Nasrudin menukas, "Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum lah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan."


Hakim mencoba bertaktik, "Tapi coba kita lihat cendekiawan seperti Anda. Kalau Anda memiliki pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan dipilih?"


Nasrudin menjawab seketika, "Tentu, saya memilih kekayaan."


Hakim membalas sinis, "Memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Anda memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?"


Nasrudin balik bertanya, "Kalau pilihan Anda sendiri?"


Hakim menjawab tegas, "Tentu, saya memilih kebijaksanaan."


Dan Nasrudin menutup, "Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya

JATUHNYA JUBAH

Nasrudin pulang malam bersama teman-temannya. Di pintu rumah mereka berpisah. Di dalam rumah, istri Nasrudin sudah menanti dengan marah. "Aku telah bersusah payah memasak untukmu sore tadi !" katanya sambil menjewer Nasrudin. Karena kuatnya, Nasrudin terpelanting dan jatuh menabrak peti.


Mendengar suara gaduh, teman-teman Nasrudin yang belum terlalu jauh kembali, dan bertanya dari balik pintu,


"Ada apa Nasrudin, malam-malam begini ribut sekali?"


"Jubahku jatuh dan menabrak peti," jawab Nasrudin.


"Jubah jatuh saja ribut sekali ?"


"Tentu saja," sesal Nasrudin, "Karena aku masih berada di dalamnya."

Jumat, 19 Maret 2010

RELATIVITAS KEBENARAN

Nasrudin sedang menjadi hakim di pengadilan kota. Mula-mula ia mendengarkan dakwaan yang berapi-api dengan fakta yang tak tersangkalkan dari jaksa.

Setelah jaksa selesai dengan dakwaannya, Nasrudin berkomentar: "Aku rasa engkau benar."

Petugas majelis membujuk Nasrudin, mengingatkan bahwa terdakwa belum membela diri.

Terdakwa diwakili oleh pengacara yang pandai mengolah logika, sehingga Nasrudin kembali terpikat.

Setelah pengacara selesai, Nasrudin kembali berkomentar: "Aku rasa engkau benar."

Petugas mengingatkan Nasrudin bahwa tidak mungkin jaksa betul dan sekaligus pengacara juga betul. Harus ada salah satu yang salah !

Nasrudin menatapnya lesu, dan kemudian berkomentar: "Aku rasa engkau pun benar. "

NASREDDIN DAN BADAI

Nasrudin berlayar dengan kapal besar. Cuaca cerah menyegarkan, tetapi Nasrudin selalu mengingatkan orang akan bahaya cuaca buruk. Orang-orang tak mengindahkannya.

Tapi kemudian cuaca benar-benar menjadi buruk, badai besar menghadang, dan kapal terombang ambing nyaris tenggelam. Para penumpang mulai berlutut, berdoa, dan berteriak-teriak minta tolong. Mereka berdoa dan berjanji untuk berbuat sebanyak mungkin kebajikan jika mereka selamat.

Teman-teman! teriak Nasrudin. "Jangan boros dengan janji-janji indah! Aku melihat daratan!"

TERBURU-BURU

Keledai Nasrudin jatuh sakit. Maka ia meminjam seekor kuda kepada tetangganya. Kuda itu besar dan kuat serta kencang larinya. Begitu Nasrudin menaikinya, ia langsung melesat secepat kilat, sementara Nasrudin berpegangan di atasnya, ketakutan.


Nasrudin mencoba membelokkan arah kuda. Tapi sia-sia. Kuda itu lari lebih kencang lagi.


Beberapa teman Nasrudin sedang bekerja di ladang ketika melihat Nasrudin melaju kencang di atas kuda. Mengira sedang ada sesuatu yang penting, mereka berteriak,


"Ada apa Nasrudin ? Ke mana engkau ? Mengapa terburu-buru ?"


Nasrudin balas berteriak, "Saya tidak tahu ! Binatang ini tidak mengatakannya kepadaku !"

INSYA ALLAH

Cukup lama Nasreddin menabung agar bisa membeli sebuah baju baru, suatu hari dengan penuh kegembiraan dia pergi ke tukang jahit, setelah diukur sang tukang jahit berkata "kembalilah satu minggu lagi, Insya Allah bajumu sudah selesai kujahit

Satu minggu kemudian Nasreddin kembali,"maafkan aku bajumu belum selesai, kembalilah lagi besok, Insya Allah sudah selesai", tutur tukang jahit pada Nasreddin

Keesok harinya dia kembali lagi, dan sekali lagi tukang jahit belum juga menyelesaikan bajunya dengan meminta maaf dan berjanji akan diselesaikan keesok harinya, "Insya Allah"

Hingga beberapa hari kemudian hal tersebut terus terjadi, " sebenarnya berapa hari yang kau perlukan untuk menyelesaikan bajuku" ucap Nasreddin dengan kesal,

"andai Allah tidak ikut campur dalam urusan ini", gumamnya menahan diri sambil berlalu

Senin, 08 Maret 2010

MENIPU PENIPU

Nasruddin mendengar ada seorang muda yang mengaku tidak bisa ditipu oleh siapapun, suatu hari Nasreddin bertemu dengannya dijalan

"Tunggu aku disini, sebentar lagi akan aku perlihatkan bagaimana aku bisa menipumu" kata Nasreddin rambil bernjak pergi meninggalkan pemuda tersebut.

"Baikkah kita buktikan saja" jawab pemuda itu. setelah menunggu beberapa lama, Nasreddin belum menampakkan batang hidungnya sehingga pemuda itu menjadi jenuh menunggu.

Seorang kawan pemuda itu kebetulan lewat dan bertanya dengan keheranan, setelah sang pemuda menceritakan semua tertawalah temannya terpingkal- pingkal.

"Kamu tolol, kamu telah ditipunya" ucap temannya tersebut sambil berlalu.

Jumat, 05 Maret 2010

TAMPANG ITU PERLU

Nasrudin hampir selalu miskin. Ia tidak mengeluh, tapi suatu hari istrinyalah yang mengeluh.


"Tapi aku mengabdi kepada Allah saja," kata Nasrudin.


"Kalau begitu, mintalah upah kepada Allah," kata istrinya.


Nasrudin langsung ke pekarangan, bersujud, dan berteriak keras-keras, "Ya Allah, berilah hamba upah seratus keping perak!" berulang-ulang. Tetangganya ingin mempermainkan Nasrudin. Ia melemparkan seratus keping perak ke kepala Nasrudin. Tapi ia terkejut waktu Nasrudin membawa lari uang itu ke dalam rumah dengan gembira, sambil berteriak "Hai, aku ternyata memang wali Allah. Ini upahku dari Allah."


Sang tetangga menyerbu rumah Nasrudin, meminta kembali uang yang baru dilemparkannya. Nasrudin menjawab "Aku memohon kepada Allah, dan uang yang jatuh itu pasti jawaban dari Allah."


Tetangganya marah. Ia mengajak Nasrudin menghadap hakim. Nasrudin berkelit, "Aku tidak pantas ke pengadilan dalam keadaan begini. Aku tidak punya kuda dan pakaian bagus. Pasti hakim berprasangka buruk pada orang miskin."


Sang tetangga meminjamkan jubah dan kuda.


Tidak lama kemudian, mereka menghadap hakim. Tetangga Nasrudin segera mengadukan halnya pada hakim.


"Bagaimana pembelaanmu?" tanya hakim pada Nasrudin.


"Tetangga saya ini gila, Tuan," kata Nasrudin.


"Apa buktinya?" tanya hakim.


"Tuan Hakim bisa memeriksanya langsung. Ia pikir segala yang ada di dunia ini miliknya. Coba tanyakan misalnya tentang jubah saya dan kuda saya, tentu semua diakui sebagai miliknya. Apalagi pula uang saya."


Dengan kaget, sang tetangga berteriak, "Tetapi itu semua memang milikku!"


Bagi sang hakim, bukti-bukti sudah cukup. Perkara putus.

PERIUK BERANAK

Nasrudin meminjam periuk kepada tetangganya. Seminggu kemudian, ia mengembalikannya dengan menyertakan juga periuk kecil di sampingnya. Tetangganya heran dan bertanya mengenai periuk kecil itu.


"Periukmu sedang hamil waktu kupinjam. Dua hari kemudian ia melahirkan bayinya dengan selamat."


Tetangganya itu menerimanya dengan senang. Nasrudin pun pulang.


Beberapa hari kemudian, Nasrudin meminjam kembali periuk itu. Namun kali ini ia pura-pura lupa mengembalikannya. Sang tetangga mulai gusar, dan ia pun datang ke rumah Nasrudin,


Sambil terisak-isak, Nasrudin menyambut tamunya, "Oh, sungguh sebuah malapetaka. Takdir telah menentukan bahwa periukmu meninggal di rumahku. Dan sekarang telah kumakamkan."


Sang tetangga menjadi marah, "Ayo kembalikan periukku. Jangan belagak bodoh. Mana ada periuk bisa meninggal dunia!"


"Tapi periuk yang bisa beranak, tentu bisa pula meninggal dunia," kata Nasrudin, sambil menghentikan isaknya

PENYELUNDUP

Ada kabar angin bahwa Mullah Nasrudin berprofesi juga sebagai penyelundup. Maka setiap melewati batas wilayah, penjaga gerbang menggeledah jubahnya yang berlapis-lapis dengan teliti. Tetapi tidak ada hal yang mencurigakan yang ditemukan. Untuk mengajar, Mullah Nasrudin memang sering harus melintasi batas wilayah.


Suatu malam, salah seorang penjaga mendatangi rumahnya. "Aku tahu, Mullah, engkau penyelundup. Tapi aku menyerah, karena tidak pernah bisa menemukan barang selundupanmu. Sekarang, jawablah penasaranku: apa yang engkau selundupkan ?"


"Jubah," kata Nasrudin, serius.

MANIPULASI DESKRIPSI

Nasrudin kehilangan sorban barunya yang bagus dan mahal. Tidak lama kemudian, Nasrudin tampak menyusun maklumat yang menawarkan setengah keping uang perak bagi yang menemukan dan mengembalikan sorbannya.


Seseorang protes, "Tapi penemunya tentu tidak akan mengembalikan sorbanmu. Hadiahnya tidak sebanding dengan harga sorban itu."


"Nah," kata Nasrudin, "Kalau begitu aku tambahkan bahwa sorban itu sudah tua, kotor, dan sobek-sobek."

JATUHNYA JUBAH

Nasrudin pulang malam bersama teman-temannya. Di pintu rumah mereka berpisah. Di dalam rumah, istri Nasrudin sudah menanti dengan marah. "Aku telah bersusah payah memasak untukmu sore tadi !" katanya sambil menjewer Nasrudin. Karena kuatnya, Nasrudin terpelanting dan jatuh menabrak peti.


Mendengar suara gaduh, teman-teman Nasrudin yang belum terlalu jauh kembali, dan bertanya dari balik pintu,


"Ada apa Nasrudin, malam-malam begini ribut sekali?"


"Jubahku jatuh dan menabrak peti," jawab Nasrudin.


"Jubah jatuh saja ribut sekali ?"


"Tentu saja," sesal Nasrudin, "Karena aku masih berada di dalamnya."

JANGAN TERLALU DALAM

Telah berulang kali Nasrudin mendatangi seorang hakim untuk mengurus suatu perjanjian. Hakim di desanya selalu mengatakan tidak punya waktu untuk menandatangani perjanjian itu. Keadaan ini selalu berulang sehingga Nasrudin menyimpulkan bahwa si hakim minta disogok. Tapi -- kita tahu -- menyogok itu diharamkan. Maka Nasrudin memutuskan untuk melemparkan keputusan ke si hakim sendiri.


Nasrudin menyiapkan sebuah gentong. Gentong itu diisinya dengan tahi sapi hingga hampir penuh. Kemudian di atasnya, Nasrudin mengoleskan mentega beberapa sentimeter tebalnya. Gentong itu dibawanya ke hadapan Pak Hakim. Saat itu juga Pak Hakim langsung tidak sibuk, dan punya waktu untuk membubuhi tanda tangan pada perjanjian Nasrudin.


Nasrudin kemudian bertanya, "Tuan, apakah pantas Tuan Hakim mengambil gentong mentega itu sebagai ganti tanda tangan Tuan ?"


Hakim tersenyum lebar. "Ah, kau jangan terlalu dalam memikirkannya." Ia mencuil sedikit mentega dan mencicipinya. "Wah, enak benar mentega ini!"


"Yah," jawab Nasrudin, "Sesuai ucapan Tuan sendiri, jangan terlalu dalam." Dan berlalulah Nasrudin.

GELAR TIMUR LENK

Timur Lenk mulai mempercayai Nasrudin, dan kadang mengajaknya berbincang soal kekuasaannya.


"Nasrudin," katanya suatu hari, "Setiap khalifah di sini selalu memiliki gelar dengan nama Allah. Misalnya: Al-Muwaffiq Billah, Al-Mutawakkil 'Alallah, Al-Mu'tashim Billah, Al-Watsiq Billah, dan lain-lain. Menurutmu, apakah gelar yang pantas untukku ?"


Cukup sulit, mengingat Timur Lenk adalah penguasa yang bengis. Tapi tak lama, Nasrudin menemukan jawabannya. "Saya kira, gelar yang paling pantas untuk Anda adalah Naudzu-Billah* saja."


* "Aku berlindung kepada Allah (darinya)"

SIAPA SEBENARNYA NASREDDIN HOJA


Nasreddin dilahirkan di Desa Khortu Sivri Hisar, Anatolia Tengah, Mesir pada tahun 776 H/1372 M kemudian menetap di Ak Shehir praovinsi Konya untuk menuntut ilmu, dia meninggal dan dimakamkan di kota itu pada tahun 836 H/1432M

Di kota Ak Shehir Nasreddin belajar kepada beberapa ulama yang terkenal pada masa itu, antara lain Sayyid MAhmud Hairani dan sayyid Haji Ibrahim, setelah menyelesaikan pendidikannya dia diangkat menjadi hakim di kota Ak Shehir, dia juga dikenal sebagai guru yang terpandang dan telah mendirikan beberapa sekolah dan perguruan, dia mempunyai banyak murid lebih dari 300 orang.

Nasreddin adalah ulama dari mazhab Hanafi, satu bidang yang sangat ia kuasai adalah ilmu Fiqih, dalam mengajar ia sering menggunakan humor untuk membuka pikiran murid - muridnya. dia mendapat gelar "Khawja atau "Hoca" atau "Hoja" yang sama artinya dengan "kiai" di Indonesia, di Uighur dia diberi gelar "Avanti" atau "Effendi" ditempat lain diberi gelar "Maulana". "Mullah" dan "Syaikh"