Jumat, 26 Maret 2010

PENGHIDUPAN

Lautan maha dalam
Mukul dentur selama
Nguji tenaga pematang kita

Mukul dentur selama
Hingga hancur remuk redam
Kurnia bahagia
Kecil setumpuk
Sia-sia dilindungi, sia-sia dipupuk
Desember 1942

NISAN

untuk nenekanda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta
Oktober 1942

Minggu, 21 Maret 2010

TEORI KEBUTUHAN

Nasrudin berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim kota, seperti umumnya cendekiawan masa itu, sering berpikir hanya dari satu sisi saja. Hakim memulai,


"Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, ..."


Nasrudin menukas, "Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum lah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan."


Hakim mencoba bertaktik, "Tapi coba kita lihat cendekiawan seperti Anda. Kalau Anda memiliki pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan dipilih?"


Nasrudin menjawab seketika, "Tentu, saya memilih kekayaan."


Hakim membalas sinis, "Memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Anda memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?"


Nasrudin balik bertanya, "Kalau pilihan Anda sendiri?"


Hakim menjawab tegas, "Tentu, saya memilih kebijaksanaan."


Dan Nasrudin menutup, "Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya

JATUHNYA JUBAH

Nasrudin pulang malam bersama teman-temannya. Di pintu rumah mereka berpisah. Di dalam rumah, istri Nasrudin sudah menanti dengan marah. "Aku telah bersusah payah memasak untukmu sore tadi !" katanya sambil menjewer Nasrudin. Karena kuatnya, Nasrudin terpelanting dan jatuh menabrak peti.


Mendengar suara gaduh, teman-teman Nasrudin yang belum terlalu jauh kembali, dan bertanya dari balik pintu,


"Ada apa Nasrudin, malam-malam begini ribut sekali?"


"Jubahku jatuh dan menabrak peti," jawab Nasrudin.


"Jubah jatuh saja ribut sekali ?"


"Tentu saja," sesal Nasrudin, "Karena aku masih berada di dalamnya."

Jumat, 19 Maret 2010

RELATIVITAS KEBENARAN

Nasrudin sedang menjadi hakim di pengadilan kota. Mula-mula ia mendengarkan dakwaan yang berapi-api dengan fakta yang tak tersangkalkan dari jaksa.

Setelah jaksa selesai dengan dakwaannya, Nasrudin berkomentar: "Aku rasa engkau benar."

Petugas majelis membujuk Nasrudin, mengingatkan bahwa terdakwa belum membela diri.

Terdakwa diwakili oleh pengacara yang pandai mengolah logika, sehingga Nasrudin kembali terpikat.

Setelah pengacara selesai, Nasrudin kembali berkomentar: "Aku rasa engkau benar."

Petugas mengingatkan Nasrudin bahwa tidak mungkin jaksa betul dan sekaligus pengacara juga betul. Harus ada salah satu yang salah !

Nasrudin menatapnya lesu, dan kemudian berkomentar: "Aku rasa engkau pun benar. "

NASREDDIN DAN BADAI

Nasrudin berlayar dengan kapal besar. Cuaca cerah menyegarkan, tetapi Nasrudin selalu mengingatkan orang akan bahaya cuaca buruk. Orang-orang tak mengindahkannya.

Tapi kemudian cuaca benar-benar menjadi buruk, badai besar menghadang, dan kapal terombang ambing nyaris tenggelam. Para penumpang mulai berlutut, berdoa, dan berteriak-teriak minta tolong. Mereka berdoa dan berjanji untuk berbuat sebanyak mungkin kebajikan jika mereka selamat.

Teman-teman! teriak Nasrudin. "Jangan boros dengan janji-janji indah! Aku melihat daratan!"

TERBURU-BURU

Keledai Nasrudin jatuh sakit. Maka ia meminjam seekor kuda kepada tetangganya. Kuda itu besar dan kuat serta kencang larinya. Begitu Nasrudin menaikinya, ia langsung melesat secepat kilat, sementara Nasrudin berpegangan di atasnya, ketakutan.


Nasrudin mencoba membelokkan arah kuda. Tapi sia-sia. Kuda itu lari lebih kencang lagi.


Beberapa teman Nasrudin sedang bekerja di ladang ketika melihat Nasrudin melaju kencang di atas kuda. Mengira sedang ada sesuatu yang penting, mereka berteriak,


"Ada apa Nasrudin ? Ke mana engkau ? Mengapa terburu-buru ?"


Nasrudin balas berteriak, "Saya tidak tahu ! Binatang ini tidak mengatakannya kepadaku !"

INSYA ALLAH

Cukup lama Nasreddin menabung agar bisa membeli sebuah baju baru, suatu hari dengan penuh kegembiraan dia pergi ke tukang jahit, setelah diukur sang tukang jahit berkata "kembalilah satu minggu lagi, Insya Allah bajumu sudah selesai kujahit

Satu minggu kemudian Nasreddin kembali,"maafkan aku bajumu belum selesai, kembalilah lagi besok, Insya Allah sudah selesai", tutur tukang jahit pada Nasreddin

Keesok harinya dia kembali lagi, dan sekali lagi tukang jahit belum juga menyelesaikan bajunya dengan meminta maaf dan berjanji akan diselesaikan keesok harinya, "Insya Allah"

Hingga beberapa hari kemudian hal tersebut terus terjadi, " sebenarnya berapa hari yang kau perlukan untuk menyelesaikan bajuku" ucap Nasreddin dengan kesal,

"andai Allah tidak ikut campur dalam urusan ini", gumamnya menahan diri sambil berlalu

Senin, 08 Maret 2010

MENIPU PENIPU

Nasruddin mendengar ada seorang muda yang mengaku tidak bisa ditipu oleh siapapun, suatu hari Nasreddin bertemu dengannya dijalan

"Tunggu aku disini, sebentar lagi akan aku perlihatkan bagaimana aku bisa menipumu" kata Nasreddin rambil bernjak pergi meninggalkan pemuda tersebut.

"Baikkah kita buktikan saja" jawab pemuda itu. setelah menunggu beberapa lama, Nasreddin belum menampakkan batang hidungnya sehingga pemuda itu menjadi jenuh menunggu.

Seorang kawan pemuda itu kebetulan lewat dan bertanya dengan keheranan, setelah sang pemuda menceritakan semua tertawalah temannya terpingkal- pingkal.

"Kamu tolol, kamu telah ditipunya" ucap temannya tersebut sambil berlalu.

Jumat, 05 Maret 2010

TAMPANG ITU PERLU

Nasrudin hampir selalu miskin. Ia tidak mengeluh, tapi suatu hari istrinyalah yang mengeluh.


"Tapi aku mengabdi kepada Allah saja," kata Nasrudin.


"Kalau begitu, mintalah upah kepada Allah," kata istrinya.


Nasrudin langsung ke pekarangan, bersujud, dan berteriak keras-keras, "Ya Allah, berilah hamba upah seratus keping perak!" berulang-ulang. Tetangganya ingin mempermainkan Nasrudin. Ia melemparkan seratus keping perak ke kepala Nasrudin. Tapi ia terkejut waktu Nasrudin membawa lari uang itu ke dalam rumah dengan gembira, sambil berteriak "Hai, aku ternyata memang wali Allah. Ini upahku dari Allah."


Sang tetangga menyerbu rumah Nasrudin, meminta kembali uang yang baru dilemparkannya. Nasrudin menjawab "Aku memohon kepada Allah, dan uang yang jatuh itu pasti jawaban dari Allah."


Tetangganya marah. Ia mengajak Nasrudin menghadap hakim. Nasrudin berkelit, "Aku tidak pantas ke pengadilan dalam keadaan begini. Aku tidak punya kuda dan pakaian bagus. Pasti hakim berprasangka buruk pada orang miskin."


Sang tetangga meminjamkan jubah dan kuda.


Tidak lama kemudian, mereka menghadap hakim. Tetangga Nasrudin segera mengadukan halnya pada hakim.


"Bagaimana pembelaanmu?" tanya hakim pada Nasrudin.


"Tetangga saya ini gila, Tuan," kata Nasrudin.


"Apa buktinya?" tanya hakim.


"Tuan Hakim bisa memeriksanya langsung. Ia pikir segala yang ada di dunia ini miliknya. Coba tanyakan misalnya tentang jubah saya dan kuda saya, tentu semua diakui sebagai miliknya. Apalagi pula uang saya."


Dengan kaget, sang tetangga berteriak, "Tetapi itu semua memang milikku!"


Bagi sang hakim, bukti-bukti sudah cukup. Perkara putus.

PERIUK BERANAK

Nasrudin meminjam periuk kepada tetangganya. Seminggu kemudian, ia mengembalikannya dengan menyertakan juga periuk kecil di sampingnya. Tetangganya heran dan bertanya mengenai periuk kecil itu.


"Periukmu sedang hamil waktu kupinjam. Dua hari kemudian ia melahirkan bayinya dengan selamat."


Tetangganya itu menerimanya dengan senang. Nasrudin pun pulang.


Beberapa hari kemudian, Nasrudin meminjam kembali periuk itu. Namun kali ini ia pura-pura lupa mengembalikannya. Sang tetangga mulai gusar, dan ia pun datang ke rumah Nasrudin,


Sambil terisak-isak, Nasrudin menyambut tamunya, "Oh, sungguh sebuah malapetaka. Takdir telah menentukan bahwa periukmu meninggal di rumahku. Dan sekarang telah kumakamkan."


Sang tetangga menjadi marah, "Ayo kembalikan periukku. Jangan belagak bodoh. Mana ada periuk bisa meninggal dunia!"


"Tapi periuk yang bisa beranak, tentu bisa pula meninggal dunia," kata Nasrudin, sambil menghentikan isaknya

PENYELUNDUP

Ada kabar angin bahwa Mullah Nasrudin berprofesi juga sebagai penyelundup. Maka setiap melewati batas wilayah, penjaga gerbang menggeledah jubahnya yang berlapis-lapis dengan teliti. Tetapi tidak ada hal yang mencurigakan yang ditemukan. Untuk mengajar, Mullah Nasrudin memang sering harus melintasi batas wilayah.


Suatu malam, salah seorang penjaga mendatangi rumahnya. "Aku tahu, Mullah, engkau penyelundup. Tapi aku menyerah, karena tidak pernah bisa menemukan barang selundupanmu. Sekarang, jawablah penasaranku: apa yang engkau selundupkan ?"


"Jubah," kata Nasrudin, serius.

MANIPULASI DESKRIPSI

Nasrudin kehilangan sorban barunya yang bagus dan mahal. Tidak lama kemudian, Nasrudin tampak menyusun maklumat yang menawarkan setengah keping uang perak bagi yang menemukan dan mengembalikan sorbannya.


Seseorang protes, "Tapi penemunya tentu tidak akan mengembalikan sorbanmu. Hadiahnya tidak sebanding dengan harga sorban itu."


"Nah," kata Nasrudin, "Kalau begitu aku tambahkan bahwa sorban itu sudah tua, kotor, dan sobek-sobek."

JATUHNYA JUBAH

Nasrudin pulang malam bersama teman-temannya. Di pintu rumah mereka berpisah. Di dalam rumah, istri Nasrudin sudah menanti dengan marah. "Aku telah bersusah payah memasak untukmu sore tadi !" katanya sambil menjewer Nasrudin. Karena kuatnya, Nasrudin terpelanting dan jatuh menabrak peti.


Mendengar suara gaduh, teman-teman Nasrudin yang belum terlalu jauh kembali, dan bertanya dari balik pintu,


"Ada apa Nasrudin, malam-malam begini ribut sekali?"


"Jubahku jatuh dan menabrak peti," jawab Nasrudin.


"Jubah jatuh saja ribut sekali ?"


"Tentu saja," sesal Nasrudin, "Karena aku masih berada di dalamnya."

JANGAN TERLALU DALAM

Telah berulang kali Nasrudin mendatangi seorang hakim untuk mengurus suatu perjanjian. Hakim di desanya selalu mengatakan tidak punya waktu untuk menandatangani perjanjian itu. Keadaan ini selalu berulang sehingga Nasrudin menyimpulkan bahwa si hakim minta disogok. Tapi -- kita tahu -- menyogok itu diharamkan. Maka Nasrudin memutuskan untuk melemparkan keputusan ke si hakim sendiri.


Nasrudin menyiapkan sebuah gentong. Gentong itu diisinya dengan tahi sapi hingga hampir penuh. Kemudian di atasnya, Nasrudin mengoleskan mentega beberapa sentimeter tebalnya. Gentong itu dibawanya ke hadapan Pak Hakim. Saat itu juga Pak Hakim langsung tidak sibuk, dan punya waktu untuk membubuhi tanda tangan pada perjanjian Nasrudin.


Nasrudin kemudian bertanya, "Tuan, apakah pantas Tuan Hakim mengambil gentong mentega itu sebagai ganti tanda tangan Tuan ?"


Hakim tersenyum lebar. "Ah, kau jangan terlalu dalam memikirkannya." Ia mencuil sedikit mentega dan mencicipinya. "Wah, enak benar mentega ini!"


"Yah," jawab Nasrudin, "Sesuai ucapan Tuan sendiri, jangan terlalu dalam." Dan berlalulah Nasrudin.

GELAR TIMUR LENK

Timur Lenk mulai mempercayai Nasrudin, dan kadang mengajaknya berbincang soal kekuasaannya.


"Nasrudin," katanya suatu hari, "Setiap khalifah di sini selalu memiliki gelar dengan nama Allah. Misalnya: Al-Muwaffiq Billah, Al-Mutawakkil 'Alallah, Al-Mu'tashim Billah, Al-Watsiq Billah, dan lain-lain. Menurutmu, apakah gelar yang pantas untukku ?"


Cukup sulit, mengingat Timur Lenk adalah penguasa yang bengis. Tapi tak lama, Nasrudin menemukan jawabannya. "Saya kira, gelar yang paling pantas untuk Anda adalah Naudzu-Billah* saja."


* "Aku berlindung kepada Allah (darinya)"

SIAPA SEBENARNYA NASREDDIN HOJA


Nasreddin dilahirkan di Desa Khortu Sivri Hisar, Anatolia Tengah, Mesir pada tahun 776 H/1372 M kemudian menetap di Ak Shehir praovinsi Konya untuk menuntut ilmu, dia meninggal dan dimakamkan di kota itu pada tahun 836 H/1432M

Di kota Ak Shehir Nasreddin belajar kepada beberapa ulama yang terkenal pada masa itu, antara lain Sayyid MAhmud Hairani dan sayyid Haji Ibrahim, setelah menyelesaikan pendidikannya dia diangkat menjadi hakim di kota Ak Shehir, dia juga dikenal sebagai guru yang terpandang dan telah mendirikan beberapa sekolah dan perguruan, dia mempunyai banyak murid lebih dari 300 orang.

Nasreddin adalah ulama dari mazhab Hanafi, satu bidang yang sangat ia kuasai adalah ilmu Fiqih, dalam mengajar ia sering menggunakan humor untuk membuka pikiran murid - muridnya. dia mendapat gelar "Khawja atau "Hoca" atau "Hoja" yang sama artinya dengan "kiai" di Indonesia, di Uighur dia diberi gelar "Avanti" atau "Effendi" ditempat lain diberi gelar "Maulana". "Mullah" dan "Syaikh"